Pagi itu tanggal 27 Desember 2014. Aku sedang mengetik materi untuk blog yg aku salin dari catatan lama. Seperti biasa, aku mengetik lewat handphone karena komputerku sudah lama rusak. Suara centang centung bbm tak ku hiraukan karena aku memang sedang sibuk mengetik dan berkonsentrasi. Hingga sampai setengah tulisan, bbm masih saja berbunyi. Aku putuskan untuk memeriksa dan membacanya. Salah satu bbm berasal dari sahabatku Eni yg isinya, "Bep jalan2 ayo. curug apa renang kek". Aku yg memang sudah lama merencanakan hal tersebut bersama Eni langsung saja meng-iyakan hal tersebut. Saat itu perkuliahan memang sedang libur karena ada perayaan natal dan tahun baru. Awalnya ia menawarkan antara 2 curug yg akan dikunjungi. Yaitu curug cigentis di Karawang dan cilember di Bogor. Seperti biasa, ketika mendengar nama tempat hal pertama yg aku pikirkan adalah "Google Maps". Iya, aku memang tidak berpengalaman pergi jauh, terlebih keluar kota. Percakapan bbm pun berlanjut. Kami bertukar informasi, ia menanyakan rute sementara aku mengirimkan screenshoot rute yg aku dapat dari Google Maps.
Singkat waktu kami pun sepakat untuk
mengunjungi curug cilember di Bogor. Aku pamit dengan Ayah dan Ibu. Aku
mengatakan kepada mereka akan pergi ke Bogor. Yang aku ingat dari perkataan Ayah
adalah "Hati2, lagi hujan..jalannya licin. Lagian ngapain sih main
jauh?". Mendengar perkataan ayah aku hanya bisa tersenyum kecut. Saat itu
kami pergi ber-empat. Dengan 2 buah motor. Sungguh, sangat nekat. Apalagi bagi
kami yg belum punya SIM. Aku membonceng Widy dengan motornya. Sementara Eni
dengan Eka. Sebelum berangkat masing2
dari kami tak lupa menyiapkan perbekalan. Diantaranya handuk, baju ganti, bekal
makan dan minun, uang, serta yg terpenting adalah powerbank untuk persediaan.
Berhubung aku tidak membawa motor, maka Eni memutuskan untuk menjemputku
bersama Eka dan lanjut kerumah Widy. Kami pun melakukan boti (baca: bonceng
tiga). Saat itu sekitar pukul 11.30 diperjalanan rintik hujan masih sempat
membasahi kami. Belum sampai tujuan kami pun harus turun dan mendorong motor ke
bengkel terdekat karena ban motor bocor. Eka mengusulkan untuk menghubungi Widy
untuk bertemu dibengkel. Tak lama Widy pun datang menggunakan jas hujan warna
ungu-silver. Ban motor Eka selesai diperbaiki, dan kami pun memulai perjalanan.
Eka memimpin jalan karena dia yg
berpengalaman. Aku mengikuti dari belakang dan berusaha mengimbangi laju motor
Eka yg cepat ditengah lalu lalang kendaraan lain. Awal perjalanan terasa cukup
baik. Hanya saja kami harus terus bertanya kepada orang sekitar untuk mencapai
rute tercepat ke tujuan. Diperjalanan yg kala itu sedikit hujan, yg kami temui
adalah jalan becek dan jalan rusak karena kami lewat jalan kecil. Seringkali
kami berteriak histeris karena terciprat air hujan karena ulah pengendara lain
ataupun ulah kami sendiri. Lagi dan lagi kami harus berhenti dan terus bertanya
kepada orang sekitar. Sampai akhirnya kami harus melewati jalan yg menanjak
terus menerus. Kami yg kala itu lelah karena sudah 3 jam perjalanan tidak
kunjung menemukan lokasi tujuan utama yaitu curug cilember. Dengan sisa tenaga
akhirnya kami memutuskan memutar motor dan kembali menyusuri jalan yg telah
kami lewati tadi yg menuruni bukit.
Disinilah insiden terjadi. Jalanan yg kala
itu basah karena air hujan membuat roda2 motor menjadi licin. Aku memegang rem
dengan kuat karena takut hal buruk terjadi. Seperti biasa Eka memimpin didepan.
Dan saat melewati tikungan aku tak kuasa mengendalikan motor yg kala itu
menginjak rumput disebelah kiri jalan. Aku memarik rem dengan kuat. Namun licin
antara ban motor dan rumput yg basah tak dapat dihindari. Dan akhirnya,
gubraggg!!! Aku dan Widy jatuh ketepi jalan. Sementara motor yg kami tumpangi
masuk kedalam selokan yg cukup sempit. Beberapa detik aku merasa tidak sadarkan
diri. Yang ku ingat adalah Widy memanggil dan menarik tanganku membantu
membangunkan, lantas lari memanggil Eni dan Eka yg sudah lebih dulu jalan
didepan. Kebetulan ada pemuda dan bapak2 yg saat itu lewat dan membantu kami
menaikkan motor. Berhubung selokannya cukup dalam dan sempit, mereka pun
kesusahan mengeluarkan motor kami. Tak lama Eka dan Eni datang dan mereka
terkejut. Eni langsung menanyakan keadaan kami "Ya ampun bep..nyoo, lu gak
papa? Minum dulu nih. Ada yg sakit nggak? Kok bisa sih??" dengan nada
penuh khawatir. Eka langsung turun tangan membantu menaikkan motor. Beberapa
menit motor berhasil dinaikkan. Kami pun mengucapkan terimakasih kepada pemuda
dan bapak2 yg telah membantu. Eni memutuskan untuk membocengku, dan Eka
membonceng Widy. Perjalanan kami lanjutkan ke bukit Sentul. Disana kami
memutuskan berhenti untuk sekedar berfoto. Kejadian tadi seolah terlupa begitu
saja. Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak. Ditengah jalan Eni yg
merasa lelah memastikan apakah aku baik2 saja dan meminta untuk berganti
mengendarai motor. Aku yg kala itu memang baik2 saja setuju dan memulai kembali
perjalanan dengan lebih hati2 dan pelan, sampai2 aku sering kehilangan jejak
Eni. Udara puncak di malam hari amat sangat dingin dan menusuk kulit. Belum
sempat setengah perjalanan kami memutuskan berhenti dan mampir ke warung untuk
sekedar makan dan menghangatkan diri dari udara Bogor kala itu. Baru pukul
19.00, dan Widy mendapat pesan dari kakaknya untuk tiba dirumah pukul 21.00.
Seketika kami bingung, dan diputuskanlah kami pulang malam itu juga selesai
kami makan.
Kami pun kembali menyusuri jalan yg menurun
untuk pulang kerumah. Malam itu lalu lalang kendaraan ramai hingga membuat
macet separuh badan jalan. Kami pun harus bekerja ekstra melewati rangkaian
mobil yg mengantre untuk bisa lewat. Salip kiri salip kanan. Sesekali
kehilangan jejak Eka dan Eni. Perjalanan pulang sedikit lebih mudah karena kami
hanya perlu mengikuti satu jalan lurus rute Cililitan. Perjalanan pulang kami
tempuh cukup lama karena macet dan banyaknya lampu merah.
Dijalan pulang aku mencoba mengingat2 apa
kesalahan yg aku buat hingga terjadi kecelakaan tadi. Lalu aku ingat perkataan
Ayah tadi siang, memang benar adanya perkataan beliau. Dari situ aku sadar
bahwa perkataan orang tua memang selalu benar karena beliau memang lebih
berpengalaman. Aku hanya bisa menghela napas panjang dan tersenyum tipis. Saat
akan mengantarkan Widy pulang kami sempat berhenti di tukang onderdil untuk
mencari kaca spion pengganti motor Widy yg pecah akibat kecelakaan tadi. Namun
kami tidak menemukan model spion yg sama, dan Widy pun memutuskan untuk pulang
saja karena saat itu sudah larut malam sekitar pukul 11.00. Sesampainya dirumah
Widy kami berpamitan dan aku meminta maaf lagi kepada Widy akibat kecelakaan
tadi sore. Widy menanggapi seperti biasa dengan tertawa dan mengatakan
"Iya nggak papa kok." Kami pun pulang dengan lagi2 melakukan boti.
Singkat kata aku sampai dirumah, Eni dan Eka pun pamit pulang. Aku yg malam itu
sampai dirumah pukul 00.00 malam, sudah dapat menebak apa yg terjadi. Aku hanya
diam mendengar Ayah berbicara lalu masuk kamar. Tidak ada perkataan yg dapat
aku sangkal dari apa yg Ayah katakan. Setelah membersihkan badan, aku hanya
bisa berbaring lemas. Badan rasanya lelah dan bengkak akibat jatuh tadi baru
terasa nyeri.
Orang tua selalu benar seburuk apapun yg
mereka katakan. Karena mereka lebih berpengalaman, lebih mengerti dan karena
mereka sayang kepada kita. Mulai saat itu aku merasa perlu lebih mencermati apa
yg Ayah dan Ibu katakan serta apa maksudnya. Aku percaya, mereka yg terbaik!
Semoga kisah ini bisa sedikit memberikan pelajaran kepada teman2 yg
pemikirannya sama seperti aku, suak meremehkan perkataan orangtuanya. Jadi
mulai sekarang, yuk kita sayangi dan patuhi perkataan orangtua. :)