Pengertian Etika
Etika
berasal dari kata “ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Bertens
mengungkapkan etika merupakan nilai dan norma moral yang menjadi acuan bagi
manusia secara individu maupun kelompok dalam mengatur segala tingkah lakunya. Sementara
menurut A. Mustafa, etika sebagai ilmu yang menyelidiki terhadap perilaku mana
yang baik dan yang buruk dan juga dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh
apa yang telah diketahui oleh akal dan pikiran.
Menurut
saya etika adalah sebuah kebiasaan atau adat istiadat berupa aturan dan tingkah laku yang dilakukan oleh sekelompok
orang atau individu didalam kehidupan sehari-hari.
Teori Etika Menurut
Para Ahli
1.
Socrates
Menurut
Socrates, bahwasanya pengertian dari etika atau intisari dari etika yaitu budi
yang berarti tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik.
Sebagai contoh, apabila seseorang telah mengetahui tentang kebenaran adanya
kenikmatan surga dan siksa neraka, maka sudah pastilah ia akan mengikuti jalan
ajaran Tuhannya untuk memperoleh kenikmatan tersebut. Dan hanya orang-orang
yang tidak mempercayai adanya kenikmatan surga dan siksa nerakalah yang enggan
untuk melaksanakan aturan dari Tuhannya yang dapat membawanya kepada kenikmatan
surga tersebut. Akan tetapi ia malahan melakukan tindakan yang dilarang oleh
Tuhannya dan meniggalkan perintah dari Tuhannya.
Sedangkan
paham etika Socrates selanjutnya yaitu kelanjutan daripada metode-metodenya.
Selanjutnya, siapa yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan
pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan
perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat
dipelajari.
Dari
ucapan itu nyatalah bahwa ajaran etika Socrates intelektuil sifatnya. Selain
dari itu juga rasionil. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang
sengaja, atas maunya sendiri, berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu
bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar,
maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak
mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah
korban daripada kekhilafannya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang
disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri.
Menurut
Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala barang yang ada
itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja?
Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan
manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari
pandangan etika yang rasionil itu Socrates sampai kepada sikap hidup, yang
penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih
baik dari berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan
perbuatannya, dalam pembelaannya di muka hakim. Socrates adalah orang yang
percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud yang tertentu.
Hal itu katanya adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya
segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu
dipandangannya bagian daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering pula
dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam, yang menjadi
bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya daimonion.
Bukan dia saja yang begitu katanya. Semua orang dapat mendengar suara daimonion
itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.
Juga
dalam segi pandangan Socrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham
rasionalisme. Semuanya itu menunjukan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia
seorang filosof yang terutama seluruh masa.
2.
Plato
Etika
Plato bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya ialah mencapai budi
baik. Budi ialah tahu. Tujuan hidup manusia adalah memperoleh kesenangan hidup
dan kesenangan hidupnya. Menurut Plato ada dua macam budi. Budi filosofis dan
budi biasa. Sasaran budi filosofis adalah dunia gaib, sedngkan sasaran budi
biasa adalah keperluan materi untuk hidup didunia ini. Menurut Plato, jiwa
murni sangat rindu kepada dunia asalnya, dunia gaib. Dunia inilah yang hendak
dicapai. Plato menyadari bahwa untuk mencapai dunia asalnya, manusia akan
banyak menghadapi rintangan dan hambatan. Materi merupakan penghalang terbesar,
dan meskipun ia dapat disingkirkan, namun penghalang itu tidak dapat
dihilangkan seluruhnya, karena wujud manusia sangat terbatas. Dengan kemampuan
intelektual yang dimilikinya, manusia begitu, manusia dapat mengatasi hambatan
yang terdapat pada diri sendiri, namun tugas ini sangat berat. Manusia harus
berjuang membebaskan fakultas rasionalnya dari pengaruh jasad yang bertentangan
antara baik dan buruk. Dari sinilah, menurut Plato, munculnya teori etika.
Manusia
cenderung pada segala bentuk kebaikan bagi dirinya, tetapi manusia sering gagal
melihat kebaikan. Pada umumnya manusia bekerja keras untuk memperoleh kekayaan,
reputasi tinggi, dan kekuasaan. Ketika manusia berhasil mencapai keinginan ia
akan mencari keinginan yang lain begitu seterusnya. Manusia tidak mengenal
puas. Dengan memperturutkan hawa nafsunya, manusia cenderung berbuat jahat;
untuk mengatasinya, manusia dituntut untuk bersikap bijak dalam memilih; untuk
dapat menentukan dengan bijak, manusia harus memahami ide tentang yang baik.
Dengan begitu, orang dapat menjatuhkan pilihan yang tepat.
Menurut
Plato, baik ialah adanya keselarasan antara wujud sesuatu dengan tujuan
diciptakannya. Manusia yang baik ialah yang mampu menyelaraskan
kekuatan-kekuatan yang ada pada dirinya. Pada diri manusia terdapat unsur yang
berbeda-beda, dan manusia pada umumnya terjatuh pada pengaruh unsur negatif.
Tugas manusia adalah membersihkan pengaruh negatif yang ada dalam dirinya.
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan terletak pada kapasitas untuk apa ia
diciptakan.
Plato
memiliki empat konsep kebaikan utama yang dapat diterapkan, baik sebagai
individu maupun masyarakat. Keempat
kebaikan itu ditentukan oleh tiga daya alami yang dimiliki manusia,
yaitu rasional (rational), emosi (the spirited of emotional), dan hawa nafsu
(appetitive). Rasional berpusat di kepala, emosi pusatnya di dada, sementara
hawa nafsu pusatnya di perut.
Keempat
kebaikan yang dimaksud ialah : Pertama, mawas diri (temperance, iffah), yaitu
menjaga harkat dirinya dari perbuatan rendah. Sikap ini timbul dari kemampan
menyeimbangkan unsur rasio dengan unsur hewani (keinginan hawa nafsu). Meskipun
hawa nafsu penting bagi eksistensi manusia, namun ia harus dipandu oleh rasio
agar tidak melampaui wewenangnya dengan merampas fungsi unsur lainnya. Kedua,
keberanian (courage, syaja’ah) . Sikap ini timbul unsur emosi. Sikap berani
sangat penting bagi manusia, karena ia berperan sebagai pembangkit semangat
dalam melakukan aktivitasnya. Seperti halnya nafsu, emosi juga harus dipandu
dan dikontrol oleh rasio. Ketiga, kebijaksanaan (wisdom, Hikmah). Sikap ini
timbul dari unsur rasio. Rasio harus mampu mengontrol dua unsur lainnya. Oleh
karena itu, rasio bertugas mencari pengetahuan tentang Yang Baik. Tugas ini
meliputi pemahaman terhadap manusia dan hubungannya dengan alam. Jika rasio
berhasil menjalankan fungsinya, manusia mampu memilih keputusan-keputusan yang
tepat. Keempat, keadilan (justice, ‘adl) . Sikap ini timbul dari kemampuan
menggabungkan ketiga unsur sekaligus. Keadilan merupakan bentuk kebaikan sosial
yang harus dipedomani oleh setiap anggota masyarakat. Plato menegaskan,
keadilan harus ditegakkan, baik keadilan individual maupun masyarakat. Menyerahkan
tugas kepada pakar sesuai dengan keahlian dan kewenangannya adalah keadilan.
Manusia tidak dikatakan adil jika masih dikuasai oleh emosi dan nafsu, Negara
tidak dinamakan Negara adil jika kepemimpinan Negara diserahkan kepada mereka
yang bodoh dan tidak terdidik.
Manusia
hanya dapat mengaktualkan ketinggian sosialnya dalam pergaulan sesama anggota
masyarakat dengan memberi kontribusi terbaiknya bagi Negara dan kesejahteraan
sesamanya. Kepuasan tertinggi timbul dari kesadaran bahwa pekerjaan hanya dapat
dilaksanakan secara maksimal bila digarap oleh ahlinya. Tiap orang memiliki
bakat masing-masing. Pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh ahlinya akan
membahayakan dirinya dan orang lain.
Menurut
Plato, kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang mengantarkan manusia menjadi
bijak, berani, mawas diri dan adil. Kebaikan tertinggi dalam kehidupan ini
ialah mengharmonikan antara yang ideal dengan kenyataan, yakni mewujudkan
keadilan, keberanian, kebaikan dan kebijaksanaan melalui petunjuk rasio.
Kebahagiaan tertinggi terletak dalam kehidupan yang mengarah pada kebaikan
tertinggi dan merenungkan ide-ide yang paling tinggi.
3.
Aristoteles
Aristoteles
mengembangkan ajaran filsafat tentang etika yang pada dasarnya serupa dengan
etika Socrates dan Plato. Tujuannya adalah mencapai eudaemonia atau kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi” dalam
kehidupan. Akan tetapi ia memahami secara realistik dan sederhana, ia tidak
bertanya tentang budi dan berlakunya seperti yang dikemukakan oleh Socrates. Ia
tidak pula menuju pengetahuan tentang ide yang kekal dan tidak berubah-ubah,
tentang ide kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh Plato. Ia menuju kepada
kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya,
kedudukannya atau pekerjaannya. Tujuan hidup, kataya tidaklah mencapai kebaikan
melainkan merasakan kebahagiaan. Dalam bukunya Ethica Nicomachea ada empat hal
penting yang dapat di ambil tentang etika yaitu :
a. Kebahagiaan
sebagai tujuan
Dalam
segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia mecari sesuatu yang baik
baginya tetapi ada banyak macam aktivitas manusia yang terarah pada macam-macam
tujuan tersebut. Dan menurut Aristoteles tujuan yang tertinggi ialah
kebahagiaan (eudamonia). Dalam mencapai tujuan ini Aristoteles memberikan
pendapatnya tentang tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan
hidup, yakni :
1. Manusia
harus memiliki harta secukupnya, agar hidupnya terpelihara. Kemiskinan
mengakibatkan perilaku rendah bagi manusia, memaksa ia menjadi loba. Milik
membebaskan ia dari kesengsaraan dan keinginan yang meluap, sehingga ia menjadi
orang yang berbudi.
2. Alat
yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan ialah persahabatan. Menurut
Aristoteles, persahabatan lebih penting daripada keadilan.
3. Keadilan.
Keadilan disini mempunyai dua pengertian. Pertama, keadilan dalam arti
pembagian barang-barang yang seimbang, relatif sama menurut keadaan
masing-masing. Kedua, keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan. Misalnya, perjanjian mengganti kerugian. Ini keadilan menurut
hukum.
b. Kebahagiaan
menurut isinya
Seperti
dirumuskan oleh Aristotekles, agar manusia bahagia ia harus menjalankan
aktivitasnya “menurut keutamaan”. Hanya pemikiran yang disertai keutamaan
(arete) dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan menurut rasio, tetapi
juga manusia seluruhnya. Manusia bukan hanya makhluk intelektual, melainkan
juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan, nafsu dan lain
sebagainya. Menurut Aristoteles terdapat dua macam keutamaan yaitu keutamaan
intelektual dan keutamaan moral. Dalam hubungannya antara keutamaan dan
kebahagiaan ia beranggapan bahwa manusia belum dikatakan bahagia jika manusia
menjalankan pikirannya dengan keutamaan dalam waktu relatif singkat atau
sesekali saja. Manurutnya manusia bisa dikatakan bahagia seutuhnya jika manusia
itu dapat menjalankan pemikirannya disertai keutamaan dalam jangka waktu
panjang. Dengan kata lain, kebahagiaan itu adalah ketika manusia sudah sampai
pada keadaan yang bersifat stabil (tetap).
c. Ajaran
tentang keutamaan
Keutamaan
yang diajarkan oleh Aristoteles berbeda dengan yang dikemukakan oleh Socrates
dan Plato. Menurutnya kita akan mendapatkan keutamaan dengan berbuat baik. Ia juga mengakui bahwa
rasio mempunyai peran penting dalam membentuk keutamaan-keutamaan. Ada dua
keutamaan yng dapat menyempurnakan rasio, yaitu :
1. Keutamaan
moral
Aristoteles
melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap yang memungkinkan manusia untuk
memilih jalan tengah antara dua akstrem yang berlawanan.
2. Keutamaan
intelektual
Bahwa
rasio manusia mempunyai dua fungsi, disatu sisi rasio manusia memungkinkan
manusia untuk mengenal kebenaran dalam arti ini dapat dikatakan sebagai rasio
teoritis. Disisi yang lain rasio manusia berfungsi sebagai pemberi petunjuk
atau keputusan agar orang mengetahui apa yang harus dilakukan dalam keadaan tertentu.
d. Kehidupan
ideal
Dalam
buku terakhir ethica nicomachea, Aristoteles kembali lagi pada unsur terpenting
dalam kebahagiaan manusia yaitu memandangkebenaran. Hal ini rupanya tidak jauh
berbeda dengan anggapan Plato, hanya saja dalam mencapai kebenaran ini Plato
meyakini akan unsur ide-ide sedangkan Aristoteles menolaknya. Tetapi tetap
menurutnya, tujuan terpenting dalam hidup manusia adalah kebenaran.
4. Jeremy Bentham
Teori
utilitarianisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan
perlu dievaluasi berdasarkan manfaat dan biaya yang dibebankan pada masyarakat.
Dalam situasi apa pun, tindakan atau kebijakan yang “benar” adalah yang
memberikan manfaat paling besar atau biaya paling kecil (bila semua alternatif
hanya membebankan biaya bersih). Sebuah prinsip moral yang mengklaim bahwa
sesuatu dianggap benar apabila mampu menekan biaya sosial (social cost)
dan memberikan manfaat sosial (social benefit).
Jeremy Bentham (1748-1832) sering dianggap
pendiri utilitarianisme tradisional. Bentham berusaha mencari dasar objektif
dalam membuat keputusan yang mampu memberikan norma yang dapat diterima publik
dalam menetapkan kebijakan dan peraturan sosial. Dasar yang objektif adalah
dengan melihat pada berbagai kebijakan yang dapat ditetapkan dan membandingkan
manfaat serta konsekuensi-konsekuensinya. Tindakan yang tepat dari sudut
pandang etis adalah dengan memilih kebijakan yang mampu memberikan utilitas
yang besar. Secara singkat, prinsip utilitarian menyatakan bahwa: “Suatu
tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah
total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah
total utilitas oleh tindakan yang dapat dilakukan.”
Prinsip ini
mengandung tiga kriteria yaitu:
1. Kita harus menentukan
tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif apa saja yang dapat kita lakukan
dalam situasi tersebut. Dalam hal ini, kriteria yang dapat dijadikan dasar
objektif untuk menilai suatu perilaku atau tindakan adalah manfaat atau utlitas (utility), yaitu
apakah tindakan atau perilaku benar jika menghasilkan manfaat, sedangkan
perilaku atau tindakan salah mendatangkan kerugian.
2. Untuk setiap tindakan alternatif,
kita perlu menentukan manfaat dan biaya langsung dan tidak langsung yang akan
diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang dipengaruhi oleh
tindakan itu di masa yang akan datang. Kriteria kedua adalah manfaat yang terbanyak. Untuk
penilaian kebijakan atau tindakan itu sendiri, maka suatu kebiakan atau
tindakan benar atau baik secara moral bila kebijakan atau tindakan tersebut
memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian yang
ditimbulkannya.
3. Alternatif yang memberikan jumlah
utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang secara etis tepat.
Kriteria ini mengandung pengertian tentang untuk siapa manfaat terbanayak
tersebut. Suatu tindakan atau kebijakan baik atau benar secara moral jika memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Dengan demikian,
kriteria objektif dalam etika utilitarianisme adalah “manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang” atau “kebaikan terbesar bagi sebagian besar
masyarakat” (“the greatest good for the greatest number”). Dengan
kata lain, suatu kebijakan atau tindakan yang baik dari segi etis adalah
kebijakan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin
orang, atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin
bagi sesedikit mungkin orang. Utilitarianisme merupakan suatu doktrin moral,
yang berpendapat bahwa kita seharusnya bertindak untuk menghasilkan sebanyak
mungkin manfaat (kebahagiaan atau kenikmatan) bagi tiap-tiap orang yang
terpengaruh oleh tindakan kita.
Keunggulan
Utilitarianisme
Utilitarianisme dalam
banyak hal merupakan sebuah teori yang menarik, dengan alasan sebagai berikut:
1. Sejalan dengan pandangan-pandangan
yang cenderung diusulkan saat membahas kebijakan pemerintah dan barang-barang
komoditas publik. Jadi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat adalah
kebijakan yang memiliki utilitas terbesar bagi masyarakat—atau seperti dalam
slogan terkenal dunia, kebijakan yang mampu menghasilkan “kebaikan terbesar
bagi sebagian besar masyarakat.
2. Sejalan dengan kriteria intuitif
yang digunakan oleh orang-orang dalam membahas perilaku atau tindakan moral (moral
conduct). Sebagai contoh, seseorang memiliki kewajiban moral untuk
melakukan tindakan tertentu, mengacu kepada manfaat atau kerugian yang
diakibatkan tindakan tersebut pada umat manusia. Di samping itu, moralitas
mewajibkan sseorang untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan orang lain
dan memiliki utilitas terbesar, siapa pun yang memperoleh manfaat-manfaat
tersebut.
3. Dapat menjelaskan mengapa kita
menganggap jenis-jenis aktivitas tertentu secara moral dianggap bersalah (berbohong,
perselingkuhan, pembunuhan), sementara yang lain dianggap benar (menyampaikan
kebenaran, bersikap jujur, menepati janji). Namun demikian,
kaum utilitarian tradisional menyangkal bahwa semua tindakan dapat dianggap
sebagai tindakan yang benar atau salah. Mereka menolak, misalnya, bahwa
ketidakjujuran atau pencurian pasti merupakantindakan yang salah. Jika dalam
situasi tertentu, lebih banyak akibat yang menguntungkan yang bisa diperoleh
dengan melakukan tindakan yang tidak jujur dibandingkan tindakan-tindakan yang
bisa dilakukan lainnya yang bisa dilakukan dalam situasi itu, maka, menurut
teori utilitarian tradisional, tindakan tidak jujur tersebut secara moral
adalah benar, hanya dalam situasi tersebut.
4. Sangat berpengaruh dalam bidang
ekonomi dan juga menjadi dasar teknik analisis biaya-manfaat
ekonomi.
5. Sangat sesuai dengan nilai yang
diutamakan oleh banyak orang : efisiensi. Suatu tindakan yang efisien adalah
tindakan yang mampu memberikan output sesuai yang diinginkan dengan input
sumberdaya paling rendah. Jika kita mengganti “manfaat” dengan
“output yang diinginkan” dan “biaya” dengan “input sumber daya”, maka
utilitarianisme mengimplikasikan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang
paling efisien.
Kelemahan
Utilitarianisme
Satu
rangkaian masalah dalam kaitannya dengan utilitarianisme terfokus pada
hambatan-hambatan yang dihadapi saat menilai atau mengukur utilitas, yaitu:
1) Bagaimana nilai utilitas (manfaat)
dari berbagai tindakan yang berbeda pada orang-orang yang berbeda dapat diukur
dan dibandingkan seperti yang dinyatakan dalam utilitarianisme.
2) Biaya dan keuntungan tertentu tampak
sangat sulit dinilai.
3) Karena banyak keuntungan dan biaya
dari suatu tindakan tidak dapat diprediksi dengan baik, maka penilaiannya pun
juga tidak dapat dilakukan dengan baik.
4) Sampai saat ini masih belum jelas
apa yang bisa dihitung sebagi keuntungan dan apa yang bisa dihitung sebagai
biaya.
5) Asumsi utilitarian menyatakan bahwa
semua barang adalah dapat diukur atau dinilai mengimplikasikan bahwa semua
baang dapat diperdagangkan.
5.
Immanuel
Kant
Etika
deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan
itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan
untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'. Istilah
"deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five
Types of Ethical Theory . Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika
yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan
dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist theory of
ethics).
Para
penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai
pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak
dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau
"bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu
apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di
mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk
semua manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut
paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk
egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral
dengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong
hanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik
yang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral. Menurut
Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila iasecara prinsipial
tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka kaidah etika
deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu sikap atau tindakan
tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu mempunyai akibat baik atau
buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-norma atau hukum moral atau tidak.
Tujuan
filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam
guna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha
untuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi
murni, dan bukan pada kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan
kerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikat
serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-tujuan dan
keinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana pun
dan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalam prinsip-prinsip
akal budi (rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang. Suatu sikap atau
tindakan secara moral betul hanya kalau itu sesuai dengan norma atau hukum
moral yang dengan sendirinya mengikat setiap orang yang berakal budi.
Kant
sangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukan
demi tujuan-tujuan lain. Kalimat pertama dalam bukunyaGrundlegung zür
Metaphysik der Sitten (Prinsip-prinsip Dasar Metafisika Moral) adalah
pernyataan bahwa yang baik sungguh-sungguh (tanpa syarat apa-apa) adalah
kehendak baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok
tindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban moral
demi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan
lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidak hanya
sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugas dan kewajibannya
tersebut. Pelaksanaan tugas dan kewajiban moral karena itu dianggap
menguntungkan untuk dirinya atau orang lain, dianggap tidak ada kaitannya
dengan moralitas.
Karena
tujuan menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar moral
yang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan apa yang secara konkret
merupakan kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isi material
tentang hal yang mesti dilakukan oleh seorang pelaku moral dalam situasi
konkret. Norma dasar moral yang melulu bersifat formal itu dia sebut sebagai
imperatif kategoris (perintah yang mengikat mutlak setiap mahkluk rasional dan
merupakan tujuan dalam dirinya sendiri). Rumusan pokok imperatif kategorisnya
yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah tindakan berbunyi sebagai
berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah
tindakanmu itu bisa sekaligus kau kehendaki sebagai kaidah yang berlaku
umum". Sedangkan rumusan keduanya yang menegaskan prinsip hormat terhadap
manusia sebagai person atau pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri adalah:
"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan
entah dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain senantiasa sebagai tujuan
dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagai sarana."
6.
Egoisme
Rachels
(2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu egoisme
psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang
menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat
diri. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri
sendiri. Yang membedakan tindakan berkutat diri (egoisme psikologis) dengan
tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap
orang lain. Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau
merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak
selalu merugikan kepentingan orang lain.
7.
Teori Hak
Dalam
pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang
paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau
perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi,
karena hak berkaitan dengan kewajiban. Malah bisa dikatakan, hak dan kewajiban
bagaikan dua sisi dari uang logam yang sama. Dalam teori etika dulu diberi
tekanan terbesar pada kewajiban, tapi sekarang kita mengalami keadaan
sebaliknya, karena sekarang segi hak paling banyak ditonjolkan. Biarpun teori
hak ini sebetulnya berakar dalam deontologi, namun sekarang ia mendapat suatu
identitas tersendiri dan karena itu pantas dibahas tersendiri pula. Hak
didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena
itu teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Teori hak
sekarang begitu populer, karena dinilai cocok dengan penghargaan terhadap
individu yang memiliki harkat tersendiri. Karena itu manusia individual
siapapun tidak pernah boleh dikorbankan demi tercapainya suatu tujuan yang
lain.
Menurut
perumusan termasyur dari Immanuel Kant : yang sudah kita kenal sebagai orang
yang meletakkan dasar filosofis untuk deontologi, manusia merupakan suatu
tujuan pada dirinya (an end in itself ). Karena itu manusia selalu harus
dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan
semata-mata sebagai sarana demi tercapainya suatu tujuan lain.
8.
Teori
Keutamaan (Virtue Theory)
Dalam
teori-teori yang dibahas sebelumnya, baik buruknya perilaku manusia dipastikan
berdasarkan suatu prinsip atau norma. Dalam konteks utilitarisme, suatu
perbuatan adalah baik, jika membawa kesenangan sebesar-besarnya bagi jumlah
orang terbanyak. Dalam rangka deontologi, suatu perbuatan adalah baik, jika
sesuai dengan prinsip “jangan mencuri”, misalnya. Menurut teori hak, perbuatan
adalah baik, jika sesuai dengan hak manusia. Teori-teori ini semua didasarkan
atas prinsip (rule-based ).
Disamping
teori-teori ini, mungkin lagi suatu pendekatan lain yang tidak menyoroti perbuatan,
tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral. Teori tipe
terakhir ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap atau akhlak
seseorang. Dalam etika dewasa ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan
sebagai reaksi atas teori-teori etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah
dalam mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Namun demikian, dalam
sejarah etika teori keutamaan tidak merupakan sesuatu yang baru. Sebaliknya,
teori ini mempunyai suatu tradisi lama yang sudah dimulai pada waktu filsafat
Yunani kuno.
Keutamaan
bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh
seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Kebijaksanaan, misalnya, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang
mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi. Keadilan adalah keutamaan lain
yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa yang menjadi haknya.
Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang tidak menonjolkan diri,
sekalipun situasi mengizinkan. Suka bekerja keras adalah keutamaan yang membuat
seseorang mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas-malasan. Ada banyak
keutamaan semacam ini. Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki
keutamaan. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan (virtuous life).
Menurut
pemikir Yunani (Aristoteles), hidup etis hanya mungkin dalam polis. Manusia
adalah “makhluk politik”, dalam arti tidak bisa dilepaskan dari polis atau
komunitasnya. Dalam etika bisnis, teori keutamaan belum banyak dimanfaatkan.
Solomon membedakan keutamaan untuk pelaku bisnis individual dan keutamaan pada
taraf perusahaan. Di samping itu ia berbicara lagi tentang keadilan sebagai
keutamaan paling mendasar di bidang bisnis. Diantara keutamaan yang harus menandai
pebisnis perorangan bisa disebut : kejujuran, fairness, kepercayaan dan
keuletan. Keempat keutamaan ini berkaitan erat satu sama lain dan kadang-kadang
malah ada tumpang tindih di antaranya. Kejujuran secara umum diakui sebagai
keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis.
Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Jika mitra bisnis ingin
bertanya, pebisnis yang jujur selalu bersedia memberi keterangan. Tetapi
suasana keterbukaan itu tidak berarti si pebisnis harus membuka segala
kartunya. Sambil berbisnis, sering kita terlibat dalam negosiasi kadang-kadang
malah negosiasi yang cukup keras dan posisi sesungguhnya atau titik tolak kita
tidak perlu ditelanjangi bagi mitra bisnis. Garis perbatasan antara kejujuran
dan ketidakjujuran tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.
Ketiga
keutamaan lain bisa dibicarakan dengan lebih singkat. Keutamaan kedua adalah
fairness . Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada
semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua
pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Insider trading adalah contoh
mengenai cara berbisnis yang tidak fair. Dengan insider trading dimaksudkan
menjual atau membeli saham berdasarkan informasi “dari dalam” yang tidak
tersedia bagi umum. Bursa efek sebagai institusi justru mengandaikan semua
orang yang bergiat disini mempunyai pengetahuan yang sama tentang keadaan
perusahaan yang mereka jualbelikan sahamnya. Orang yang bergerak atas dasar
informasi dari sumber tidak umum (jadi rahasia) tidak berlaku fair.
Kepercayaan
(trust) juga merupakan keutamaan yang penting dalan konteks bisnis. Kepercayaan
harus ditempatkan dalam relasi timbal balik. Ada beberapa cara untuk
mengamankan kepercayaan. Salah satu cara adalah memberi garansi atau jaminan.
Cara-cara itu bisa menunjang kepercayaan antara pebisnis, tetapi hal itu hanya
ada gunanya bila akhirnya kepercayaan melekat pada si pebisnis itu sendiri.
9.
Teori
Etika Teonom
Sebagaimana
dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang ingin
dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk
memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat
risten, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki
oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara
moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia
dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaimana
dituangkan dalam kitab suci.
Sebagaimana
teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk
mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant
teletak pada pengabaian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus
dicapai umat manusia, walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak.
Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikatakan dengan
tujuan tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat
diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak
melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.
10.
Deontologi
Istilah
deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Paham
deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama
sekali dengan tujuan, konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut.
Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis
atau tidaknya suatu tindakan. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi baik karena
hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk membenarkan suatu
tindakan, melainkan hanya kisah terkenal Robinhood yang merampok kekayaan
orang-orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada rakyat miskin.
Contoh Jurnal Mengenai
Etika
Judul
:PENGARUH ORIENTASI ETIKA DAN PENGALAMAN AKUNTAN TERHADAP MANAJEMEN LABA (The
Influence of Orientation of Ethics and Experience of Accountants to The
Management of Income)
Penulis : Kamaruddin, Abd
Hamid, Tawakkal
Kesimpulan Jurnal
Orientasi
etika berpengaruh terhadap persepsi tidak etis akuntan tentang praktik
manajemen laba. Hal ini menggambarkan bahwa peningkatan orientasi pada akuntan
akan berdampak pada pengambilan keputusan yang profesional sehingga akan
meningkatkan persepsi tidak etis akuntan tentang praktik manajemen laba.
Pengalaman akuntan berpengaruh terhadap persepsi tidak etis akuntan tentang
praktik manajemen laba. Hal ini menggambarkan bahwa peningkatan orientasi etika
dan pengalaman akuantan akan berpengaruh terhadap persepsi tidak etis akuntan
tentang praktik manajemen laba dalam artian bahwa peningkatan orientasi akuntan
dengan mengadopsi ideology tentang etika dan peningkatan pengalaman yang
membuat akuntan matang sehingga mampu menilai setiap masalah etika dan
manajemen laba dengan kritis.
Daftar Pustaka
Sukrisno,
Agoes dan Ardana, I Centik. 2011. Etika
Bisnis dan Profesi Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba
Empat.
Rakhmat,
Ioanes. 2009. Sokrates dalam Tetralogi
Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Jakarta: Gramedia.
Bartens,
Kees. 1999. Sejarah Filsafat Yunani.
Yogyakarta: Kanisius.
Kant,
Immanuel terjemahan oleh Nurhadi. 2009. Critique
of Practical Reason. Yogyakarta: Pustaka.