A.
Immoral
Manajemen
Immoral
menurut Concise Oxford Dictionary adalah sesuatu yang bertentangan dengan
moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis. Immoral merupakan tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh
seseorang walaupun orang tersebut sudah mengetahui bahwa hal tersebut memang
salah dan tetap melakukannya.
Immoral
manajemen adalah tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip
etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali
tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal
organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku
bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan
dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri
sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini
selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai
batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
Contohnya :
Pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji di bawah upah minimum atau
perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, perusahaan percetakan
yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta,
dan sebagainya.
B.
Amoral
Manajemen
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) yang lama tidak terdapat “amoral”
atau “immoral”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru tidak dimuat
“immoral”, tapi terdapat kata “amoral” yang dijelaskan sebagai “tidak bermoral,
tidak berakhlak” dan diberi contoh “Memeras para pensiunan adalah tindakan
amoral”. Penjelasan ini memang sejalan dengan apa yang kadang kala dapat kita
baca atau dengar, tapi sulit juga untuk dipertahankan karena bercampuraduk
amoral dan immoral sebagaimana dipakai dalam bahasa Inggris serta banyak bahasa
modern lain dan akhirnya berasal dari bahasa latin. Kata “amoral” sebaiknya
diartinya sebagai “netral dari sudut moral” atau “tidak mempunyai relevansi
etis”.
Amoral
adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang karena kurangnya
pengetahuan, memiliki kelainan, atau belum cukup umur.
Tingkatan
kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral
manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen
seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada
dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu :
1. Pertama,
manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional
amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka,
bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau
tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka
akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah
memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat
baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis
mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini
biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum
sebagai pedoman dalam beraktivitas.
2. Kedua,
tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami
ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja
melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka,
misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini
terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita,
tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari
pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono
(1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis
dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya
sebagai berikut :
Bisnis
adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan
ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat
berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang
yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan
berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang
tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.
Kalau
suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis
amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka”
(kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan
sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun
ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini
membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
Contohnya :
Penjual cabai yang mengharapakan laba atau keuntungan yang besar sehingga
mereka melakukan tindakan bisnis amoral dengan cara mempermainkan timbangan.
Contoh jika seorang ibu membeli cabai ke pedagang tersebut sebanyak 1 kilogram
tetapi cabai yang didapat oleh si ibu hanya 9 ons. Kesimpulannya ada tindakan
bisnis amoral yang dilakukan oleh si pedagang cabai, pedagang ingin mendapatkan
laba atau keuntungan yang besar dengan tindakan yang tidak bermoral.
C.
Moral
Manajemen
Menurut
Merriam Websterr moral adalah mengenai atau berhubungan dengan apa yang benar
dan salah dalam perilaku manusia, dianggap benar dan baik oleh kebanyakan orang
sesuai standar perilaku yang tepat pada kelompok atau masyarakat tersebut.
Sementara menurut Zainuddin Saifullah Nainggolan mooral adalah suatu tendensi
rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku
seseorang dan masyarakat.
Tingkatan
tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah
moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas
diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan
aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan
mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan
prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk
dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis
yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang
berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka
patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi
dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu
melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule)
sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
Contohnya : Bangsa
Indonesia dapat hidup berdampingan dengan bermacam-macam suku, adat, ras,
budaya dan agama tanpa saling melecehkan satu sama lain, hal tersebut
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki moral yang baik.
D.
Sumber
Nilai Etika
1.
Agama
Banyak
ajaran dan paham pada masing-masing agama. Dengan maksud pengertian agama
adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan
pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari
kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang
dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan atau menjelaskan asal usul
kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat
manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang
disukai.
Bermula
dari buku Max Weber The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904-5)
menjadi tegak awal keyakinan orang adanya hubungan erat antara ajaran agama dan
etika kerja, atau anatara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.
Etika sebagai ajaran baik-buruk, slah-benar, atau ajaran tentang moral
khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari
ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat
menunjuk pada kitab Injil (Bibble), dan etika ekonomi yahudi banyak menunjuk
pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari
seperlima ayat-ayat yang muat dalam Al-Qur’an.
Etika
bisnis menurut ajaran Islamdigali langsung dari Al Quran dan Hadits Nabi. Dalam
ajaran Islam, etika bisnis dalam Islam menekakan pada empat hal Yaitu :
Kesatuan (Unity), Keseimbangan (Equilibrium), Kebebasan (FreeWill) dan tanggung
jawab (Responsibility). Etika bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling
percaya, kejujuran dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan
karyawan berkembangan semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam
perusahaan yang islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan
benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan
meningkat. Buruh muda yang masing tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih
rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih
tinggi disbanding rekan-rekannya yang muda.
E.
Fislosofi
Pandangan
hidup seseorang atau sekelompok orang. Arti Filosofi yaitu studi mengenai
kebijaksanaan, dasar-dasar pengetahuan dan proses yang digunakan untuk
mengembangkan dan merancang pandangan mengenai suatu kehidupan. Filosofi
memberi pandangan dan menyatakan secara tidak langsung mengenai sistem
keyakinan dan kepercayaan. Setiap filosofi individu akan dikembangkan dan akan
mempengaruhi perilaku dan sikap individu tersebut. Seseorang akan mengembangkan
filosofinya melalui belajar dari hubungan interpersona, pengalaman pendidikan
formal dan informal, keagamaan, budaya dan lingkungannya.
F.
Budaya
Referensi
penting lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan etika bisnis adalah
pengalaman dan perkembangan budaya, baik budaya dari suatu bangsa maupun budaya
yang bersumber dari berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya yang mengalami
transisi akan melahirkan nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang diterima
oleh suatu komunitas tertentu dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku
seseorang, suatu kelompok atau suatu komunitas yang lebih besar. Budaya adalah
suatu sistem nilai dan norma yang diberikan pada suatu kelompok atau komunitas
manusia dan ketika itu disepakati atau disahkan bersama-sama sebagai landasan
dalam kehidupan (Rusdin, 2002).
Ciri
khas utama yang paling menonjol yaitu kekeluargaan dan hubungan kekerabatan
yang erat. Definisi budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik , adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian , bangunan dan karya seni .
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi
banyak kegiatan sosial manusia.
G.
Hukum
Menurut
Plato hukum merupakan sebuah peraturan yang teratur dan tersusun dengan baik
serta juga mengikat terhadap masyarakat maupun pemerintah. Biasanya hukum
dibuat setelah pelanggaran-pelanggaran terjadi dalam komunitas. Arti hukum
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.
Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,
hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka
yang akan dipilih.
Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara
hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filsuf
Aristotle menyatakan bahwa “sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari
pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.”
H.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Etika Manajerial
1.
Leadership
Pemimpin
adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran
formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu
memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan,
kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu
kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.
Arti
pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan,
khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi
orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi
pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang
memiliki kecakapan dan kelebihan – khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang
, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini
Kartono, 1994 : 181).
Kepemimpinan
(Leadership) adalah kemampuan
individu untuk mempengaruhi memotivasi dan membuat orang lain mampu memberikan
kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi (House et. Al., 1999
: 184). Menurut Handoko (2000 : 294) definisi atau pengertian kepemimpinan
telah didefiinisikan dengan berbagai cara yang berbeda oleh berbagai orang yang
berbeda pula. Menurut Stoner, kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan
sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan
dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya.
Ada
tiga implikasi penting dari definisi tersebut, antara lain :
1. Pertama,
kepemimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut. Kesediaan mereka
untuk menerima pengarahan dari pemimpinan, para anggota kelompok membantu
menentukan status/kedudukan pemimpin dan membuat proses kepemimpinan dapat
berjalan. Tanpa bawahan, semua kualitas kepemimpinan seorang manajer akan
menjadi tidak relevan.
2. Kedua,
kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang di antara
para pemimpin dan anggota kelompok. Para pemimpin mempunyai wewenang untuk
mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota
kelompok tidak dapat mengarahkan kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung,
meskipun dapat juga melalui sejumlah cara secara tidak langsung.
3. Ketiga,
pemimpin mempergunakan pengaruh. Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya
dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan tetapi juga dapat
memepengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya.
I.
Strategi
dan Performasi
Performansi
adalah cacatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu
atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu. (Bernandin & Russell).
Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian performansi adalah suatu cara mengukur
kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada
organisasinya. (Kae E. Chung & Leon C. Megginson).
Tujuan
dari penilaian performansi terbagi atas dua macam, yakni :
1. Untuk
me-reward performansi sebelumnya, dan
2. Untuk
memotivasikan perbaikan performansi pada yang waktu yang akan datang.
Ada
2 syarat utama yang diperlukan untuk melakukan penilaian performansi yang
efektif, yaitu:
1. Adanya
kriteria performansi yang dapat diukur secara objektif.
2. Adanya
objektifitas dalam proses evaluasi.
Pendekatan
secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan dan
eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Fungsi yang penting dari
sebuah manajemen adalah untuk kreatif dalam menghadapi tingginya tingkat
persaingan yang membuat perusahaannya mencapai tujuan perusahaan terutama dari
sisi keuangan tanpa harus menodai aktivitas bisnisnya berbagai kompromi etika.
Sebuah perusahaan yang buruk akan memiliki kesulitan besar untuk menyelaraskan
target yang ingin dicapai perusahaannya dengan standar-standar etika. Karena
keseluruhan strategi perusahaan yang disebut excellence harus bisa melaksanakan seluruh kebijakan-kebijakan
perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan dengan cara yang jujur.
J.
Karakter
Individu
Merupakan
suatu proses psikologi yang mempengaruhi individu dalam memperoleh,
mengkonsumsi serta menerima barang dan jasa serta pengalaman. Karakteristik
individu merupakan faktor internal (interpersonal) yang menggerakan dan
mempengaruhi perilaku individu.
Menurut
James (2004 : 87) “karakteristik individu adalah minat, sikap dan kebutuhan
yang dibawa seseorang didalam situasi kerja.” Minat adalah sikap yang membuat
seseorang senang akan obyek kecenderungan atau ide-ide tertentu. Hal ini
diikuti dengan perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari obyek yang
disenangi itu. Minat mempunyai kontribusi terbesar dalam pencapaian tujuan
perusahaan, betapapun sempurnanya rencana organisasi dan pengawasan serta
penelitiannya. Bila karyawan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan minat
gembira maka suatu perusahaan tidak akan mencapai hasil yang semestinya dapat
dicapai.
K.
Budaya
Organisasi
Menurut
Mangkunegara (2005:113), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau
sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Budaya
organisasi juga berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik
budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai
karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif,
bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
Menurut
Robbins (1999 : 282) semua organsasi mempuyai budaya yang tidak tertulis yang
mendefinisikan standar-standar perilaku yang dapat diterima dengan baik maupun
tidak untuk para karyawan. Dan proses akan berjalan beberapa bulan, kemudian
setelah itu kebanyakan karyawan akan memahami budaya organiasi mereka seperti,
bagaimana berpakaian untuk kerja dan lain sebagainya.
Gibson
(1997 : 372) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang menembus
nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur
organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat
nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang dianut.
Tingkatan Budaya Organisasi
Dalam
mempelajari budaya organisasi ada beberapa tingkatan budaya dalam sebuah
organisasi,, dari yang terlihat dalam perilaku (puncak) sampai pada yang
tersembunyi. Schein (dalam Mohyi 1996: 85) mengklasifikasikan budaya organisasi
dalam tiga kelas, antara lain :
1. Artefak
Artefak
merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan fisik
dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi.
2. Nilai-nilai
yang mendukung
Nilai
adalah dasar titik berangka evaluasi yag dipergunakan anggota organisasi untuk
menilai organisasi, perbuatan, situasi dan hal-hal lain yag ada dalam
organisasi
3. Asumsi
dasa
Adalah
keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri mereka sendiri, tentang
orang lain dan hubungan mereka dengan orang lain serta hakekat organisasi
mereka
Sumber:
Beginner's Guide to Baccarat - FeBCasino
BalasHapusBefore you play for real money or for free, there are some things you can do. Play and win. At FEBCasino, you will febcasino find a huge number of exciting games