Minggu, 12 Maret 2017

ETIKA BISNIS

Pengertian Etika
Etika berasal dari kata “ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Bertens mengungkapkan etika merupakan nilai dan norma moral yang menjadi acuan bagi manusia secara individu maupun kelompok dalam mengatur segala tingkah lakunya. Sementara menurut A. Mustafa, etika sebagai ilmu yang menyelidiki terhadap perilaku mana yang baik dan yang buruk dan juga dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh apa yang telah diketahui oleh akal dan pikiran.
Menurut saya etika adalah sebuah kebiasaan atau adat istiadat berupa aturan dan  tingkah laku yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu didalam kehidupan sehari-hari.

Teori Etika Menurut Para Ahli
1.      Socrates
Menurut Socrates, bahwasanya pengertian dari etika atau intisari dari etika yaitu budi yang berarti tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Sebagai contoh, apabila seseorang telah mengetahui tentang kebenaran adanya kenikmatan surga dan siksa neraka, maka sudah pastilah ia akan mengikuti jalan ajaran Tuhannya untuk memperoleh kenikmatan tersebut. Dan hanya orang-orang yang tidak mempercayai adanya kenikmatan surga dan siksa nerakalah yang enggan untuk melaksanakan aturan dari Tuhannya yang dapat membawanya kepada kenikmatan surga tersebut. Akan tetapi ia malahan melakukan tindakan yang dilarang oleh Tuhannya dan meniggalkan perintah dari Tuhannya.
Sedangkan paham etika Socrates selanjutnya yaitu kelanjutan daripada metode-metodenya. Selanjutnya, siapa yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari.
Dari ucapan itu nyatalah bahwa ajaran etika Socrates intelektuil sifatnya. Selain dari itu juga rasionil. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas maunya sendiri, berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah korban daripada kekhilafannya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri.
Menurut Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala barang yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasionil itu Socrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan perbuatannya, dalam pembelaannya di muka hakim. Socrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud yang tertentu. Hal itu katanya adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangannya bagian daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya daimonion. Bukan dia saja yang begitu katanya. Semua orang dapat mendengar suara daimonion itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.
Juga dalam segi pandangan Socrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia seorang filosof yang terutama seluruh masa.

2.      Plato
Etika Plato bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya ialah mencapai budi baik. Budi ialah tahu. Tujuan hidup manusia adalah memperoleh kesenangan hidup dan kesenangan hidupnya. Menurut Plato ada dua macam budi. Budi filosofis dan budi biasa. Sasaran budi filosofis adalah dunia gaib, sedngkan sasaran budi biasa adalah keperluan materi untuk hidup didunia ini. Menurut Plato, jiwa murni sangat rindu kepada dunia asalnya, dunia gaib. Dunia inilah yang hendak dicapai. Plato menyadari bahwa untuk mencapai dunia asalnya, manusia akan banyak menghadapi rintangan dan hambatan. Materi merupakan penghalang terbesar, dan meskipun ia dapat disingkirkan, namun penghalang itu tidak dapat dihilangkan seluruhnya, karena wujud manusia sangat terbatas. Dengan kemampuan intelektual yang dimilikinya, manusia begitu, manusia dapat mengatasi hambatan yang terdapat pada diri sendiri, namun tugas ini sangat berat. Manusia harus berjuang membebaskan fakultas rasionalnya dari pengaruh jasad yang bertentangan antara baik dan buruk. Dari sinilah, menurut Plato, munculnya teori etika.
Manusia cenderung pada segala bentuk kebaikan bagi dirinya, tetapi manusia sering gagal melihat kebaikan. Pada umumnya manusia bekerja keras untuk memperoleh kekayaan, reputasi tinggi, dan kekuasaan. Ketika manusia berhasil mencapai keinginan ia akan mencari keinginan yang lain begitu seterusnya. Manusia tidak mengenal puas. Dengan memperturutkan hawa nafsunya, manusia cenderung berbuat jahat; untuk mengatasinya, manusia dituntut untuk bersikap bijak dalam memilih; untuk dapat menentukan dengan bijak, manusia harus memahami ide tentang yang baik. Dengan begitu, orang dapat menjatuhkan pilihan yang tepat.
Menurut Plato, baik ialah adanya keselarasan antara wujud sesuatu dengan tujuan diciptakannya. Manusia yang baik ialah yang mampu menyelaraskan kekuatan-kekuatan yang ada pada dirinya. Pada diri manusia terdapat unsur yang berbeda-beda, dan manusia pada umumnya terjatuh pada pengaruh unsur negatif. Tugas manusia adalah membersihkan pengaruh negatif yang ada dalam dirinya. Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan terletak pada kapasitas untuk apa ia diciptakan.
Plato memiliki empat konsep kebaikan utama yang dapat diterapkan, baik sebagai individu maupun masyarakat. Keempat  kebaikan itu ditentukan oleh tiga daya alami yang dimiliki manusia, yaitu rasional (rational), emosi (the spirited of emotional), dan hawa nafsu (appetitive). Rasional berpusat di kepala, emosi pusatnya di dada, sementara hawa nafsu pusatnya di perut.
Keempat kebaikan yang dimaksud ialah : Pertama, mawas diri (temperance, iffah), yaitu menjaga harkat dirinya dari perbuatan rendah. Sikap ini timbul dari kemampan menyeimbangkan unsur rasio dengan unsur hewani (keinginan hawa nafsu). Meskipun hawa nafsu penting bagi eksistensi manusia, namun ia harus dipandu oleh rasio agar tidak melampaui wewenangnya dengan merampas fungsi unsur lainnya. Kedua, keberanian (courage, syaja’ah) . Sikap ini timbul unsur emosi. Sikap berani sangat penting bagi manusia, karena ia berperan sebagai pembangkit semangat dalam melakukan aktivitasnya. Seperti halnya nafsu, emosi juga harus dipandu dan dikontrol oleh rasio. Ketiga, kebijaksanaan (wisdom, Hikmah). Sikap ini timbul dari unsur rasio. Rasio harus mampu mengontrol dua unsur lainnya. Oleh karena itu, rasio bertugas mencari pengetahuan tentang Yang Baik. Tugas ini meliputi pemahaman terhadap manusia dan hubungannya dengan alam. Jika rasio berhasil menjalankan fungsinya, manusia mampu memilih keputusan-keputusan yang tepat. Keempat, keadilan (justice, ‘adl) . Sikap ini timbul dari kemampuan menggabungkan ketiga unsur sekaligus. Keadilan merupakan bentuk kebaikan sosial yang harus dipedomani oleh setiap anggota masyarakat. Plato menegaskan, keadilan harus ditegakkan, baik keadilan individual maupun masyarakat. Menyerahkan tugas kepada pakar sesuai dengan keahlian dan kewenangannya adalah keadilan. Manusia tidak dikatakan adil jika masih dikuasai oleh emosi dan nafsu, Negara tidak dinamakan Negara adil jika kepemimpinan Negara diserahkan kepada mereka yang bodoh dan tidak terdidik.
Manusia hanya dapat mengaktualkan ketinggian sosialnya dalam pergaulan sesama anggota masyarakat dengan memberi kontribusi terbaiknya bagi Negara dan kesejahteraan sesamanya. Kepuasan tertinggi timbul dari kesadaran bahwa pekerjaan hanya dapat dilaksanakan secara maksimal bila digarap oleh ahlinya. Tiap orang memiliki bakat masing-masing. Pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh ahlinya akan membahayakan dirinya dan orang lain.
Menurut Plato, kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang mengantarkan manusia menjadi bijak, berani, mawas diri dan adil. Kebaikan tertinggi dalam kehidupan ini ialah mengharmonikan antara yang ideal dengan kenyataan, yakni mewujudkan keadilan, keberanian, kebaikan dan kebijaksanaan melalui petunjuk rasio. Kebahagiaan tertinggi terletak dalam kehidupan yang mengarah pada kebaikan tertinggi dan merenungkan ide-ide yang paling tinggi.

3.      Aristoteles
Aristoteles mengembangkan ajaran filsafat tentang etika yang pada dasarnya serupa dengan etika Socrates dan Plato. Tujuannya adalah mencapai eudaemonia atau kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi” dalam kehidupan. Akan tetapi ia memahami secara realistik dan sederhana, ia tidak bertanya tentang budi dan berlakunya seperti yang dikemukakan oleh Socrates. Ia tidak pula menuju pengetahuan tentang ide yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang ide kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh Plato. Ia menuju kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya, kedudukannya atau pekerjaannya. Tujuan hidup, kataya tidaklah mencapai kebaikan melainkan merasakan kebahagiaan. Dalam bukunya Ethica Nicomachea ada empat hal penting yang dapat di ambil tentang etika yaitu :
a. Kebahagiaan sebagai tujuan
Dalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia mecari sesuatu yang baik baginya tetapi ada banyak macam aktivitas manusia yang terarah pada macam-macam tujuan tersebut. Dan menurut Aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebahagiaan (eudamonia). Dalam mencapai tujuan ini Aristoteles memberikan pendapatnya tentang tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup, yakni :
1. Manusia harus memiliki harta secukupnya, agar hidupnya terpelihara. Kemiskinan mengakibatkan perilaku rendah bagi manusia, memaksa ia menjadi loba. Milik membebaskan ia dari kesengsaraan dan keinginan yang meluap, sehingga ia menjadi orang yang berbudi.
2. Alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan ialah persahabatan. Menurut Aristoteles, persahabatan lebih penting daripada keadilan.
3. Keadilan. Keadilan disini mempunyai dua pengertian. Pertama, keadilan dalam arti pembagian barang-barang yang seimbang, relatif sama menurut keadaan masing-masing. Kedua, keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, perjanjian mengganti kerugian. Ini keadilan menurut hukum.

b. Kebahagiaan menurut isinya
Seperti dirumuskan oleh Aristotekles, agar manusia bahagia ia harus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan”. Hanya pemikiran yang disertai keutamaan (arete) dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan menurut rasio, tetapi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan hanya makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan, nafsu dan lain sebagainya. Menurut Aristoteles terdapat dua macam keutamaan yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Dalam hubungannya antara keutamaan dan kebahagiaan ia beranggapan bahwa manusia belum dikatakan bahagia jika manusia menjalankan pikirannya dengan keutamaan dalam waktu relatif singkat atau sesekali saja. Manurutnya manusia bisa dikatakan bahagia seutuhnya jika manusia itu dapat menjalankan pemikirannya disertai keutamaan dalam jangka waktu panjang. Dengan kata lain, kebahagiaan itu adalah ketika manusia sudah sampai pada keadaan yang bersifat stabil (tetap).

c. Ajaran tentang keutamaan
Keutamaan yang diajarkan oleh Aristoteles berbeda dengan yang dikemukakan oleh Socrates dan Plato. Menurutnya kita akan mendapatkan keutamaan  dengan berbuat baik. Ia juga mengakui bahwa rasio mempunyai peran penting dalam membentuk keutamaan-keutamaan. Ada dua keutamaan yng dapat menyempurnakan rasio, yaitu :
1. Keutamaan moral
Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua akstrem yang berlawanan.
2. Keutamaan intelektual
Bahwa rasio manusia mempunyai dua fungsi, disatu sisi rasio manusia memungkinkan manusia untuk mengenal kebenaran dalam arti ini dapat dikatakan sebagai rasio teoritis. Disisi yang lain rasio manusia berfungsi sebagai pemberi petunjuk atau keputusan agar orang mengetahui apa yang harus dilakukan dalam keadaan tertentu.

d. Kehidupan ideal
Dalam buku terakhir ethica nicomachea, Aristoteles kembali lagi pada unsur terpenting dalam kebahagiaan manusia yaitu memandangkebenaran. Hal ini rupanya tidak jauh berbeda dengan anggapan Plato, hanya saja dalam mencapai kebenaran ini Plato meyakini akan unsur ide-ide sedangkan Aristoteles menolaknya. Tetapi tetap menurutnya, tujuan terpenting dalam hidup manusia adalah kebenaran.

4.      Jeremy Bentham 
Teori utilitarianisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan manfaat dan biaya yang dibebankan pada masyarakat. Dalam situasi apa pun, tindakan atau kebijakan yang “benar” adalah yang memberikan manfaat paling besar atau biaya paling kecil (bila semua alternatif hanya membebankan biaya bersih). Sebuah prinsip moral yang mengklaim bahwa sesuatu dianggap benar apabila mampu menekan biaya sosial (social cost) dan memberikan manfaat sosial (social benefit).
Jeremy Bentham (1748-1832) sering dianggap pendiri utilitarianisme tradisional. Bentham berusaha mencari dasar objektif dalam membuat keputusan yang mampu memberikan norma yang dapat diterima publik dalam menetapkan kebijakan dan peraturan sosial. Dasar yang objektif adalah dengan melihat pada berbagai kebijakan yang dapat ditetapkan dan membandingkan manfaat serta konsekuensi-konsekuensinya. Tindakan yang tepat dari sudut pandang etis adalah dengan memilih kebijakan yang mampu memberikan utilitas yang besar. Secara singkat, prinsip utilitarian menyatakan bahwa: “Suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah total utilitas oleh tindakan yang dapat dilakukan.”

Prinsip ini mengandung tiga kriteria yaitu:
1. Kita harus menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif apa saja yang dapat kita lakukan dalam situasi tersebut. Dalam hal ini, kriteria yang dapat dijadikan dasar objektif untuk menilai suatu perilaku atau tindakan adalah manfaat atau utlitas (utility), yaitu apakah tindakan atau perilaku benar jika menghasilkan manfaat, sedangkan perilaku atau tindakan salah mendatangkan kerugian.
2. Untuk setiap tindakan alternatif, kita perlu menentukan manfaat dan biaya langsung dan tidak langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang. Kriteria kedua adalah manfaat yang terbanyak. Untuk penilaian kebijakan atau tindakan itu sendiri, maka suatu kebiakan atau tindakan benar atau baik secara moral bila kebijakan atau tindakan tersebut memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya.
3. Alternatif yang memberikan jumlah utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang secara etis tepat. Kriteria ini mengandung pengertian tentang untuk siapa manfaat terbanayak tersebut. Suatu tindakan atau kebijakan baik atau benar secara moral jika memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Dengan demikian, kriteria objektif dalam etika utilitarianisme adalah “manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang” atau “kebaikan terbesar bagi sebagian besar masyarakat” (“the greatest good for the greatest number”). Dengan kata lain, suatu kebijakan atau tindakan yang baik dari segi etis adalah kebijakan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang,  atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sesedikit mungkin orang. Utilitarianisme merupakan suatu doktrin moral, yang berpendapat bahwa kita seharusnya bertindak untuk menghasilkan sebanyak mungkin manfaat (kebahagiaan atau kenikmatan) bagi tiap-tiap orang yang terpengaruh oleh tindakan kita. 

Keunggulan Utilitarianisme
Utilitarianisme  dalam banyak hal merupakan sebuah teori yang menarik, dengan alasan sebagai berikut:
1. Sejalan dengan pandangan-pandangan yang cenderung diusulkan saat membahas kebijakan pemerintah dan barang-barang komoditas publik. Jadi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat adalah kebijakan yang memiliki utilitas terbesar bagi masyarakat—atau seperti dalam slogan terkenal dunia, kebijakan yang mampu menghasilkan “kebaikan terbesar bagi sebagian besar masyarakat.
2. Sejalan dengan kriteria intuitif yang digunakan oleh orang-orang dalam membahas perilaku atau tindakan moral (moral conduct). Sebagai contoh, seseorang memiliki kewajiban moral untuk melakukan tindakan tertentu, mengacu kepada manfaat atau kerugian yang diakibatkan tindakan tersebut pada umat manusia. Di samping itu, moralitas mewajibkan sseorang untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan orang lain dan memiliki utilitas terbesar, siapa pun yang memperoleh manfaat-manfaat tersebut.
3. Dapat menjelaskan mengapa kita menganggap jenis-jenis aktivitas tertentu secara moral dianggap bersalah (berbohong, perselingkuhan, pembunuhan), sementara yang lain dianggap benar (menyampaikan kebenaran, bersikap jujur, menepati janji).  Namun demikian, kaum utilitarian tradisional menyangkal bahwa semua tindakan dapat dianggap sebagai tindakan yang benar atau salah. Mereka menolak, misalnya, bahwa ketidakjujuran atau pencurian pasti merupakantindakan yang salah. Jika dalam situasi tertentu, lebih banyak akibat yang menguntungkan yang bisa diperoleh dengan melakukan tindakan yang tidak jujur dibandingkan tindakan-tindakan yang bisa dilakukan lainnya yang bisa dilakukan dalam situasi itu, maka, menurut teori utilitarian tradisional, tindakan tidak jujur tersebut secara moral adalah benar, hanya dalam situasi tersebut.
4. Sangat berpengaruh dalam bidang ekonomi dan  juga menjadi dasar teknik analisis biaya-manfaat ekonomi.
5. Sangat sesuai dengan nilai yang diutamakan oleh banyak orang : efisiensi. Suatu tindakan yang efisien adalah tindakan yang mampu memberikan output sesuai yang diinginkan dengan input sumberdaya paling rendah.  Jika kita mengganti “manfaat” dengan “output yang diinginkan” dan “biaya” dengan “input sumber daya”, maka utilitarianisme mengimplikasikan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang paling efisien.

Kelemahan Utilitarianisme
Satu rangkaian masalah dalam kaitannya dengan utilitarianisme terfokus pada hambatan-hambatan yang dihadapi saat menilai atau mengukur utilitas, yaitu:
1)     Bagaimana nilai utilitas (manfaat) dari berbagai tindakan yang berbeda pada orang-orang yang berbeda dapat diukur dan dibandingkan seperti yang dinyatakan dalam utilitarianisme.
2)     Biaya dan keuntungan tertentu tampak sangat sulit dinilai.
3)    Karena banyak keuntungan dan biaya dari suatu tindakan tidak dapat diprediksi dengan baik, maka penilaiannya pun juga tidak dapat dilakukan dengan baik.
4)   Sampai saat ini masih belum jelas apa yang bisa dihitung sebagi keuntungan dan apa yang bisa dihitung sebagai biaya.
5)  Asumsi utilitarian menyatakan bahwa semua barang adalah dapat diukur atau dinilai mengimplikasikan bahwa semua baang dapat diperdagangkan.

5.      Immanuel Kant
Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory . Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist theory of ethics).
Para penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk semua manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral dengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong hanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik yang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral. Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila iasecara prinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu sikap atau tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-norma atau hukum moral atau tidak.
Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam guna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana pun dan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalam prinsip-prinsip akal budi (rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang. Suatu sikap atau tindakan secara moral betul hanya kalau itu sesuai dengan norma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat setiap orang yang berakal budi.
Kant sangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukan demi tujuan-tujuan lain. Kalimat pertama dalam bukunyaGrundlegung zür Metaphysik der Sitten (Prinsip-prinsip Dasar Metafisika Moral) adalah pernyataan bahwa yang baik sungguh-sungguh (tanpa syarat apa-apa) adalah kehendak baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban moral demi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidak hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugas dan kewajibannya tersebut. Pelaksanaan tugas dan kewajiban moral karena itu dianggap menguntungkan untuk dirinya atau orang lain, dianggap tidak ada kaitannya dengan moralitas.
Karena tujuan menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar moral yang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan apa yang secara konkret merupakan kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isi material tentang hal yang mesti dilakukan oleh seorang pelaku moral dalam situasi konkret. Norma dasar moral yang melulu bersifat formal itu dia sebut sebagai imperatif kategoris (perintah yang mengikat mutlak setiap mahkluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri). Rumusan pokok imperatif kategorisnya yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah tindakan berbunyi sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah tindakanmu itu bisa sekaligus kau kehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum". Sedangkan rumusan keduanya yang menegaskan prinsip hormat terhadap manusia sebagai person atau pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri adalah: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain senantiasa sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagai sarana."

6.       Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri. Yang membedakan tindakan berkutat diri (egoisme psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang lain. Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain.

7.       Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena hak berkaitan dengan kewajiban. Malah bisa dikatakan, hak dan kewajiban bagaikan dua sisi dari uang logam yang sama. Dalam teori etika dulu diberi tekanan terbesar pada kewajiban, tapi sekarang kita mengalami keadaan sebaliknya, karena sekarang segi hak paling banyak ditonjolkan. Biarpun teori hak ini sebetulnya berakar dalam deontologi, namun sekarang ia mendapat suatu identitas tersendiri dan karena itu pantas dibahas tersendiri pula. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Teori hak sekarang begitu populer, karena dinilai cocok dengan penghargaan terhadap individu yang memiliki harkat tersendiri. Karena itu manusia individual siapapun tidak pernah boleh dikorbankan demi tercapainya suatu tujuan yang lain.
Menurut perumusan termasyur dari Immanuel Kant : yang sudah kita kenal sebagai orang yang meletakkan dasar filosofis untuk deontologi, manusia merupakan suatu tujuan pada dirinya (an end in itself ). Karena itu manusia selalu harus dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana demi tercapainya suatu tujuan lain.

8.      Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Dalam teori-teori yang dibahas sebelumnya, baik buruknya perilaku manusia dipastikan berdasarkan suatu prinsip atau norma. Dalam konteks utilitarisme, suatu perbuatan adalah baik, jika membawa kesenangan sebesar-besarnya bagi jumlah orang terbanyak. Dalam rangka deontologi, suatu perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan prinsip “jangan mencuri”, misalnya. Menurut teori hak, perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan hak manusia. Teori-teori ini semua didasarkan atas prinsip (rule-based ).
Disamping teori-teori ini, mungkin lagi suatu pendekatan lain yang tidak menyoroti perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral. Teori tipe terakhir ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Dalam etika dewasa ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan sebagai reaksi atas teori-teori etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Namun demikian, dalam sejarah etika teori keutamaan tidak merupakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, teori ini mempunyai suatu tradisi lama yang sudah dimulai pada waktu filsafat Yunani kuno.
Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kebijaksanaan, misalnya, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi. Keadilan adalah keutamaan lain yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa yang menjadi haknya. Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang tidak menonjolkan diri, sekalipun situasi mengizinkan. Suka bekerja keras adalah keutamaan yang membuat seseorang mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas-malasan. Ada banyak keutamaan semacam ini. Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki keutamaan. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan (virtuous life).
Menurut pemikir Yunani (Aristoteles), hidup etis hanya mungkin dalam polis. Manusia adalah “makhluk politik”, dalam arti tidak bisa dilepaskan dari polis atau komunitasnya. Dalam etika bisnis, teori keutamaan belum banyak dimanfaatkan. Solomon membedakan keutamaan untuk pelaku bisnis individual dan keutamaan pada taraf perusahaan. Di samping itu ia berbicara lagi tentang keadilan sebagai keutamaan paling mendasar di bidang bisnis. Diantara keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan bisa disebut : kejujuran, fairness, kepercayaan dan keuletan. Keempat keutamaan ini berkaitan erat satu sama lain dan kadang-kadang malah ada tumpang tindih di antaranya. Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Jika mitra bisnis ingin bertanya, pebisnis yang jujur selalu bersedia memberi keterangan. Tetapi suasana keterbukaan itu tidak berarti si pebisnis harus membuka segala kartunya. Sambil berbisnis, sering kita terlibat dalam negosiasi kadang-kadang malah negosiasi yang cukup keras dan posisi sesungguhnya atau titik tolak kita tidak perlu ditelanjangi bagi mitra bisnis. Garis perbatasan antara kejujuran dan ketidakjujuran tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.
Ketiga keutamaan lain bisa dibicarakan dengan lebih singkat. Keutamaan kedua adalah fairness . Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Insider trading adalah contoh mengenai cara berbisnis yang tidak fair. Dengan insider trading dimaksudkan menjual atau membeli saham berdasarkan informasi “dari dalam” yang tidak tersedia bagi umum. Bursa efek sebagai institusi justru mengandaikan semua orang yang bergiat disini mempunyai pengetahuan yang sama tentang keadaan perusahaan yang mereka jualbelikan sahamnya. Orang yang bergerak atas dasar informasi dari sumber tidak umum (jadi rahasia) tidak berlaku fair.
Kepercayaan (trust) juga merupakan keutamaan yang penting dalan konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal balik. Ada beberapa cara untuk mengamankan kepercayaan. Salah satu cara adalah memberi garansi atau jaminan. Cara-cara itu bisa menunjang kepercayaan antara pebisnis, tetapi hal itu hanya ada gunanya bila akhirnya kepercayaan melekat pada si pebisnis itu sendiri.

9.      Teori Etika Teonom
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat risten, yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaimana dituangkan dalam kitab suci.
Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant teletak pada pengabaian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus dicapai umat manusia, walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.

10.  Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk membenarkan suatu tindakan, melainkan hanya kisah terkenal Robinhood yang merampok kekayaan orang-orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada rakyat miskin.

Contoh Jurnal Mengenai Etika
Judul :PENGARUH ORIENTASI ETIKA DAN PENGALAMAN AKUNTAN TERHADAP MANAJEMEN LABA (The Influence of Orientation of Ethics and Experience of Accountants to The Management of Income)
Penulis : Kamaruddin, Abd Hamid, Tawakkal






Kesimpulan Jurnal
Orientasi etika berpengaruh terhadap persepsi tidak etis akuntan tentang praktik manajemen laba. Hal ini menggambarkan bahwa peningkatan orientasi pada akuntan akan berdampak pada pengambilan keputusan yang profesional sehingga akan meningkatkan persepsi tidak etis akuntan tentang praktik manajemen laba. Pengalaman akuntan berpengaruh terhadap persepsi tidak etis akuntan tentang praktik manajemen laba. Hal ini menggambarkan bahwa peningkatan orientasi etika dan pengalaman akuantan akan berpengaruh terhadap persepsi tidak etis akuntan tentang praktik manajemen laba dalam artian bahwa peningkatan orientasi akuntan dengan mengadopsi ideology tentang etika dan peningkatan pengalaman yang membuat akuntan matang sehingga mampu menilai setiap masalah etika dan manajemen laba dengan kritis.

Daftar Pustaka
Sukrisno, Agoes dan Ardana, I Centik. 2011. Etika Bisnis dan Profesi Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat.

Rakhmat, Ioanes. 2009. Sokrates dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Jakarta: Gramedia.

Bartens, Kees. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Kant, Immanuel terjemahan oleh Nurhadi. 2009. Critique of Practical Reason. Yogyakarta: Pustaka.


Rachel, James terjemahan oleh Sudiarja, A. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Pengalaman Seleksi Magang Bakti BCA dari FAME Consultant

Hallo! kenalin nama gue Ayu. Tanggal 7 Februari kemarin gue baru aja dapet panggilan interview dari FAME Consultant yang gue apply lewat...