Senin, 29 Desember 2014

Naas tak dapat ditolak


Pagi itu tanggal 27 Desember 2014. Aku sedang mengetik materi untuk blog yg aku salin dari catatan lama. Seperti biasa, aku mengetik lewat handphone karena komputerku sudah lama rusak. Suara centang centung bbm tak ku hiraukan karena aku memang sedang sibuk mengetik dan berkonsentrasi. Hingga sampai setengah tulisan, bbm masih saja berbunyi. Aku putuskan untuk memeriksa dan membacanya. Salah satu bbm berasal dari sahabatku Eni yg isinya, "Bep jalan2 ayo. curug apa renang kek". Aku yg memang sudah lama merencanakan hal tersebut bersama Eni langsung saja meng-iyakan hal tersebut. Saat itu perkuliahan memang sedang libur karena ada perayaan natal dan tahun baru. Awalnya ia menawarkan antara 2 curug yg akan dikunjungi. Yaitu curug cigentis di Karawang dan cilember di Bogor. Seperti biasa, ketika mendengar nama tempat hal pertama yg aku pikirkan adalah "Google Maps". Iya, aku memang tidak berpengalaman pergi jauh, terlebih keluar kota. Percakapan bbm pun berlanjut. Kami bertukar informasi, ia menanyakan rute sementara aku mengirimkan screenshoot rute yg aku dapat dari Google Maps.
Singkat waktu kami pun sepakat untuk mengunjungi curug cilember di Bogor. Aku pamit dengan Ayah dan Ibu. Aku mengatakan kepada mereka akan pergi ke Bogor. Yang aku ingat dari perkataan Ayah adalah "Hati2, lagi hujan..jalannya licin. Lagian ngapain sih main jauh?". Mendengar perkataan ayah aku hanya bisa tersenyum kecut. Saat itu kami pergi ber-empat. Dengan 2 buah motor. Sungguh, sangat nekat. Apalagi bagi kami yg belum punya SIM. Aku membonceng Widy dengan motornya. Sementara Eni dengan Eka.  Sebelum berangkat masing2 dari kami tak lupa menyiapkan perbekalan. Diantaranya handuk, baju ganti, bekal makan dan minun, uang, serta yg terpenting adalah powerbank untuk persediaan. Berhubung aku tidak membawa motor, maka Eni memutuskan untuk menjemputku bersama Eka dan lanjut kerumah Widy. Kami pun melakukan boti (baca: bonceng tiga). Saat itu sekitar pukul 11.30 diperjalanan rintik hujan masih sempat membasahi kami. Belum sampai tujuan kami pun harus turun dan mendorong motor ke bengkel terdekat karena ban motor bocor. Eka mengusulkan untuk menghubungi Widy untuk bertemu dibengkel. Tak lama Widy pun datang menggunakan jas hujan warna ungu-silver. Ban motor Eka selesai diperbaiki, dan kami pun memulai perjalanan.
Eka memimpin jalan karena dia yg berpengalaman. Aku mengikuti dari belakang dan berusaha mengimbangi laju motor Eka yg cepat ditengah lalu lalang kendaraan lain. Awal perjalanan terasa cukup baik. Hanya saja kami harus terus bertanya kepada orang sekitar untuk mencapai rute tercepat ke tujuan. Diperjalanan yg kala itu sedikit hujan, yg kami temui adalah jalan becek dan jalan rusak karena kami lewat jalan kecil. Seringkali kami berteriak histeris karena terciprat air hujan karena ulah pengendara lain ataupun ulah kami sendiri. Lagi dan lagi kami harus berhenti dan terus bertanya kepada orang sekitar. Sampai akhirnya kami harus melewati jalan yg menanjak terus menerus. Kami yg kala itu lelah karena sudah 3 jam perjalanan tidak kunjung menemukan lokasi tujuan utama yaitu curug cilember. Dengan sisa tenaga akhirnya kami memutuskan memutar motor dan kembali menyusuri jalan yg telah kami lewati tadi yg menuruni bukit.
Disinilah insiden terjadi. Jalanan yg kala itu basah karena air hujan membuat roda2 motor menjadi licin. Aku memegang rem dengan kuat karena takut hal buruk terjadi. Seperti biasa Eka memimpin didepan. Dan saat melewati tikungan aku tak kuasa mengendalikan motor yg kala itu menginjak rumput disebelah kiri jalan. Aku memarik rem dengan kuat. Namun licin antara ban motor dan rumput yg basah tak dapat dihindari. Dan akhirnya, gubraggg!!! Aku dan Widy jatuh ketepi jalan. Sementara motor yg kami tumpangi masuk kedalam selokan yg cukup sempit. Beberapa detik aku merasa tidak sadarkan diri. Yang ku ingat adalah Widy memanggil dan menarik tanganku membantu membangunkan, lantas lari memanggil Eni dan Eka yg sudah lebih dulu jalan didepan. Kebetulan ada pemuda dan bapak2 yg saat itu lewat dan membantu kami menaikkan motor. Berhubung selokannya cukup dalam dan sempit, mereka pun kesusahan mengeluarkan motor kami. Tak lama Eka dan Eni datang dan mereka terkejut. Eni langsung menanyakan keadaan kami "Ya ampun bep..nyoo, lu gak papa? Minum dulu nih. Ada yg sakit nggak? Kok bisa sih??" dengan nada penuh khawatir. Eka langsung turun tangan membantu menaikkan motor. Beberapa menit motor berhasil dinaikkan. Kami pun mengucapkan terimakasih kepada pemuda dan bapak2 yg telah membantu. Eni memutuskan untuk membocengku, dan Eka membonceng Widy. Perjalanan kami lanjutkan ke bukit Sentul. Disana kami memutuskan berhenti untuk sekedar berfoto. Kejadian tadi seolah terlupa begitu saja. Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak. Ditengah jalan Eni yg merasa lelah memastikan apakah aku baik2 saja dan meminta untuk berganti mengendarai motor. Aku yg kala itu memang baik2 saja setuju dan memulai kembali perjalanan dengan lebih hati2 dan pelan, sampai2 aku sering kehilangan jejak Eni. Udara puncak di malam hari amat sangat dingin dan menusuk kulit. Belum sempat setengah perjalanan kami memutuskan berhenti dan mampir ke warung untuk sekedar makan dan menghangatkan diri dari udara Bogor kala itu. Baru pukul 19.00, dan Widy mendapat pesan dari kakaknya untuk tiba dirumah pukul 21.00. Seketika kami bingung, dan diputuskanlah kami pulang malam itu juga selesai kami makan.
Kami pun kembali menyusuri jalan yg menurun untuk pulang kerumah. Malam itu lalu lalang kendaraan ramai hingga membuat macet separuh badan jalan. Kami pun harus bekerja ekstra melewati rangkaian mobil yg mengantre untuk bisa lewat. Salip kiri salip kanan. Sesekali kehilangan jejak Eka dan Eni. Perjalanan pulang sedikit lebih mudah karena kami hanya perlu mengikuti satu jalan lurus rute Cililitan. Perjalanan pulang kami tempuh cukup lama karena macet dan banyaknya lampu merah.
Dijalan pulang aku mencoba mengingat2 apa kesalahan yg aku buat hingga terjadi kecelakaan tadi. Lalu aku ingat perkataan Ayah tadi siang, memang benar adanya perkataan beliau. Dari situ aku sadar bahwa perkataan orang tua memang selalu benar karena beliau memang lebih berpengalaman. Aku hanya bisa menghela napas panjang dan tersenyum tipis. Saat akan mengantarkan Widy pulang kami sempat berhenti di tukang onderdil untuk mencari kaca spion pengganti motor Widy yg pecah akibat kecelakaan tadi. Namun kami tidak menemukan model spion yg sama, dan Widy pun memutuskan untuk pulang saja karena saat itu sudah larut malam sekitar pukul 11.00. Sesampainya dirumah Widy kami berpamitan dan aku meminta maaf lagi kepada Widy akibat kecelakaan tadi sore. Widy menanggapi seperti biasa dengan tertawa dan mengatakan "Iya nggak papa kok." Kami pun pulang dengan lagi2 melakukan boti. Singkat kata aku sampai dirumah, Eni dan Eka pun pamit pulang. Aku yg malam itu sampai dirumah pukul 00.00 malam, sudah dapat menebak apa yg terjadi. Aku hanya diam mendengar Ayah berbicara lalu masuk kamar. Tidak ada perkataan yg dapat aku sangkal dari apa yg Ayah katakan. Setelah membersihkan badan, aku hanya bisa berbaring lemas. Badan rasanya lelah dan bengkak akibat jatuh tadi baru terasa nyeri.
Orang tua selalu benar seburuk apapun yg mereka katakan. Karena mereka lebih berpengalaman, lebih mengerti dan karena mereka sayang kepada kita. Mulai saat itu aku merasa perlu lebih mencermati apa yg Ayah dan Ibu katakan serta apa maksudnya. Aku percaya, mereka yg terbaik! Semoga kisah ini bisa sedikit memberikan pelajaran kepada teman2 yg pemikirannya sama seperti aku, suak meremehkan perkataan orangtuanya. Jadi mulai sekarang, yuk kita sayangi dan patuhi perkataan orangtua. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengalaman Seleksi Magang Bakti BCA dari FAME Consultant

Hallo! kenalin nama gue Ayu. Tanggal 7 Februari kemarin gue baru aja dapet panggilan interview dari FAME Consultant yang gue apply lewat...